Suatu hari Tuhan tersenyum puas melihat sebuah planet yang baru saja diciptakan-Nya. Malaikat pun bertanya, “Apa yang baru saja Engkau ciptakan, Tuhan?”
“Lihatlah, Aku baru saja menciptakan sebuah planet biru yang bernama Bumi,” kata Tuhan sambil menambahkan beberapa awan di atas daerah hutan hujan Amazon.
Tuhan melanjutkan, “Ini akan menjadi planet yang luar biasa dari yang pernah Aku ciptakan. Di planet baru ini, segalanya akan terjadi secara seimbang.”
Lalu Tuhan menjelaskan kepada malaikat tentang Benua Eropa. Di Eropa sebelah utara, Tuhan menciptakan tanah yang penuh peluang dan menyenangkan seperti Inggris, Skotlandia dan Perancis. Tetapi di daerah itu, Tuhan juga menciptakan hawa dingin yang menusuk tulang.
Di Eropa bagian selatan, Tuhan menciptakan masyarakat yang agak miskin, seperti Spanyol dan Portugal, tetapi banyak sinar matahari dan hangat serta pemandangan eksotis di Selat Gibraltar.
Lalu malaikat menunjuk sebuah kepulauan sambil berseru, “Lalu daerah apakah itu Tuhan?”
“O,itu..,” kata Tuhan, “ Itu Indonesia”. Negara yang sangat kaya dan sangat cantik di planet bumi. Ada jutaan flora dan fauna yang telah Aku ciptakan di sana. Ada jutaan ikan segar di laut yang siap panen. Banyak sinar matahari dan hujan. Penduduknya Ku ciptakan ramah tamah, suka menolong dan berkebudayaan yang beraneka warna. Mereka pekerja keras, siap hidup sederhana dan bersahaja serta mencintai seni.
Dengan terheran-heran, malaikat pun protes, “Lho, katanya tadi setiap negara akan diciptakan dengan keseimbangan. Kok Indonesia baik-baik semua. Lalu dimana letak keseimbangannya?”
Tuhan pun menjawab dalam bahasa Inggris, “Wait,, till you see the idiots I put in the government..”
#Terjawablah sudah,,hahaha (Jangan diambil hati..^^)
ibu_hana
Jumat, 20 April 2012
Kisah Penuh Hikmah
Pena Ilmu dan Dawah
Urwah bin Zubair : Aku akan shalat agar sakitnya tidak sempat kurasakan
Abu Abdillah atau Urwah bin Zubair bin Al-Awwam adalah di antara sederet tabiin yang memiliki kucuran mata air hikmah untuk generasi umat sesudah beliau. Adik dari Abdullah bin Zubair ini memberikakan pelajaran tentang nilai sebuah kesabaran.
Suatu hari cucu Abu Bakar Ash-shiddiq ini mendapat tugas untuk menemui khalifah Al-Walid bin ‘Abdil Malik di ibukota kekhalifahan, yaitu Damaskus di negeri Syam. Bersama dengan rombongan, ‘Urwah akan menempuh perjalanan dari Madinah menuju Damaskus yang saat ini menjadi negara Yordania.
Ketika melewati Wadil Qura, sebuah daerah yang belum jauh dari Madinah, telapak kaki kiri beliau terluka. Tabiin yang lahir pada tahun 23 Hijriyah ini menganggap biasa lukanya. Ternyata, luka tersebut menanah dan terus menjalar ke bagian atas kaki Urwah.
Setibanya di istana Al-Walid, luka di kaki kiri Urwah tersebut sudah mulai membusuk hingga betis. Urwah pun mendapatkan pertolongan dari Khalifah Al-Walid yang memerintahkan sejumlah dokter untuk memberikan perawatan.
Setelah melalui beberapa pemeriksaan, para dokter yang memeriksa salah seorang murid dari Aisyah binti Abu Bakar ini mempunyai satu kesimpulan. Kaki kiri Urwah harus diamputasi, agar luka yang membusuk tidak terus menjalar ke tubuh.
Urwah menerima keputusan tim dokter ini. Dan dimulailah operasi amputasi. Seorang dokter menyuguhkan Urwah semacam obat bius agar operasi amputasi tidak terasa sakit. Saat itu, Urwah menolak dengan halus.
Beliau mengatakan, “Aku tidak akan meminum suatu obat yang menghilangkan akalku sehingga aku tidak lagi mengenal Allah, walaupun untuk sesaat.”
Mendengar itu, para dokter pun menjadi ragu untuk melakukan amputasi. Saat itu juga, Urwah mengatakan, “Silakan kalian potong kakiku. Selama kalian melakukan operasi, aku akan shalat agar sakitnya tidak sempat kurasakan.”
Mulailah tim dokter memotong kaki Urwah dengan gergaji. Selama proses operasi itu, tabiin yang bisa mengkhatamkan Alquran selama dua hari ini tampak khusyuk dan tegar. Tidak sedikit pun suara rintihan keluar dari mulut beliau.
Melihat pengalaman yang tidak mengenakkan dari seorang cucu sahabat terkenal itu, khalifah Al-Walid menghampiri Urwah yang masih terbaring. Ia mencoba untuk menghibur. Tapi, dengan senyum Urwah mengucapkan sebuah kalimat, “Ya Allah, segala puji hanya untuk-Mu. Sebelum ini, aku memiliki dua kaki dan dua tangan, kemudian Engkau ambil satu. Alhamdulillah, Engkau masih menyisakan yang lain. Dan walaupun Engkau telah memberikan musibah kepadaku namun masa sehatku masih lebih panjang hari-hari sakit ini. Segala puji hanya untuk-Mu atas apa yang telah Engkau ambil, dan atas apa yang telah Engkau berikan kepadaku dari masa sehat.”
Mendengar itu, Khalifah Al-Walid bereaksi, “Belum pernah sekali pun aku melihat seorang tokoh yang kesabarannya seperti dia.”
Beberapa saat setelah itu, tim dokter memperlihatkan potongan kaki yang diamputasi itu kepada Urwah. Melihat potongan kakinya, beliau mengatakan, “Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui, tidak pernah sekalipun aku melangkahkan kakiku itu ke arah kemaksiatan.”
Ujian yang Allah berikan kepada Urwah tidak sampai di situ. Malam itu juga, bersamaan dengan telah selesainya operasi pemotongan kaki, Urwah mendapat kabar bahwa salah seorang putra beliau yang bernama Muhammad -putra kesayangannya- meninggal dunia. Muhammad meninggal karena sebuah kecelakaan: ditendang oleh kuda sewaktu sedang bermain-main di dalam kandang kuda.
Dalam keheningan malam itu, Urwah berucap pada dirinya sendiri, “Segala puji hanya milik Allah, dahulu aku memiliki tujuh orang anak, kemudian Engkau ambil satu dan masih Kau sisakan enam. Walaupun Engkau telah memberikan musibah kepadaku, hari-hari sehatku masih lebih panjang dari masa pembaringan ini. Dan walaupun Engkau telah mengambil salah seorang anakku, sesungguhnya Engkau masih menyisakan enam yang lain.”
Dari berbagai sumber.
Urwah bin Zubair : Aku akan shalat agar sakitnya tidak sempat kurasakan
Abu Abdillah atau Urwah bin Zubair bin Al-Awwam adalah di antara sederet tabiin yang memiliki kucuran mata air hikmah untuk generasi umat sesudah beliau. Adik dari Abdullah bin Zubair ini memberikakan pelajaran tentang nilai sebuah kesabaran.
Suatu hari cucu Abu Bakar Ash-shiddiq ini mendapat tugas untuk menemui khalifah Al-Walid bin ‘Abdil Malik di ibukota kekhalifahan, yaitu Damaskus di negeri Syam. Bersama dengan rombongan, ‘Urwah akan menempuh perjalanan dari Madinah menuju Damaskus yang saat ini menjadi negara Yordania.
Ketika melewati Wadil Qura, sebuah daerah yang belum jauh dari Madinah, telapak kaki kiri beliau terluka. Tabiin yang lahir pada tahun 23 Hijriyah ini menganggap biasa lukanya. Ternyata, luka tersebut menanah dan terus menjalar ke bagian atas kaki Urwah.
Setibanya di istana Al-Walid, luka di kaki kiri Urwah tersebut sudah mulai membusuk hingga betis. Urwah pun mendapatkan pertolongan dari Khalifah Al-Walid yang memerintahkan sejumlah dokter untuk memberikan perawatan.
Setelah melalui beberapa pemeriksaan, para dokter yang memeriksa salah seorang murid dari Aisyah binti Abu Bakar ini mempunyai satu kesimpulan. Kaki kiri Urwah harus diamputasi, agar luka yang membusuk tidak terus menjalar ke tubuh.
Urwah menerima keputusan tim dokter ini. Dan dimulailah operasi amputasi. Seorang dokter menyuguhkan Urwah semacam obat bius agar operasi amputasi tidak terasa sakit. Saat itu, Urwah menolak dengan halus.
Beliau mengatakan, “Aku tidak akan meminum suatu obat yang menghilangkan akalku sehingga aku tidak lagi mengenal Allah, walaupun untuk sesaat.”
Mendengar itu, para dokter pun menjadi ragu untuk melakukan amputasi. Saat itu juga, Urwah mengatakan, “Silakan kalian potong kakiku. Selama kalian melakukan operasi, aku akan shalat agar sakitnya tidak sempat kurasakan.”
Mulailah tim dokter memotong kaki Urwah dengan gergaji. Selama proses operasi itu, tabiin yang bisa mengkhatamkan Alquran selama dua hari ini tampak khusyuk dan tegar. Tidak sedikit pun suara rintihan keluar dari mulut beliau.
Melihat pengalaman yang tidak mengenakkan dari seorang cucu sahabat terkenal itu, khalifah Al-Walid menghampiri Urwah yang masih terbaring. Ia mencoba untuk menghibur. Tapi, dengan senyum Urwah mengucapkan sebuah kalimat, “Ya Allah, segala puji hanya untuk-Mu. Sebelum ini, aku memiliki dua kaki dan dua tangan, kemudian Engkau ambil satu. Alhamdulillah, Engkau masih menyisakan yang lain. Dan walaupun Engkau telah memberikan musibah kepadaku namun masa sehatku masih lebih panjang hari-hari sakit ini. Segala puji hanya untuk-Mu atas apa yang telah Engkau ambil, dan atas apa yang telah Engkau berikan kepadaku dari masa sehat.”
Mendengar itu, Khalifah Al-Walid bereaksi, “Belum pernah sekali pun aku melihat seorang tokoh yang kesabarannya seperti dia.”
Beberapa saat setelah itu, tim dokter memperlihatkan potongan kaki yang diamputasi itu kepada Urwah. Melihat potongan kakinya, beliau mengatakan, “Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui, tidak pernah sekalipun aku melangkahkan kakiku itu ke arah kemaksiatan.”
Ujian yang Allah berikan kepada Urwah tidak sampai di situ. Malam itu juga, bersamaan dengan telah selesainya operasi pemotongan kaki, Urwah mendapat kabar bahwa salah seorang putra beliau yang bernama Muhammad -putra kesayangannya- meninggal dunia. Muhammad meninggal karena sebuah kecelakaan: ditendang oleh kuda sewaktu sedang bermain-main di dalam kandang kuda.
Dalam keheningan malam itu, Urwah berucap pada dirinya sendiri, “Segala puji hanya milik Allah, dahulu aku memiliki tujuh orang anak, kemudian Engkau ambil satu dan masih Kau sisakan enam. Walaupun Engkau telah memberikan musibah kepadaku, hari-hari sehatku masih lebih panjang dari masa pembaringan ini. Dan walaupun Engkau telah mengambil salah seorang anakku, sesungguhnya Engkau masih menyisakan enam yang lain.”
Dari berbagai sumber.
Pelajaran dari Wanita Pelit
Pena Ilmu dan dawah
DALAM beberapa kitab tazkiyatun nafs, seperti Tanbiihul Ghaafiliin, Al-Jauharul Mauhuub wa Munabbihatul Quluub, dan Al-Mawaaidz al-‘Ushfuuriyyah, dicantumkan sebuah kisah ganjaran yang diberikan Allah Subhanahu Wata’ala kepada seorang wanita yang pelit bersedekah saat ia hidup di dunia. Inilah petikan kisahnya.
Suatu hari datang kepada Nabi Shalallaahu‘Alaihi Wasallam seorang wanita dengan tangan kanan yang tidak berfungsi (lumpuh). “Ya Rasul, berdoalah kepada Allah untuk tanganku ini agar bisa berfungsi kembali seperti semula,” pintanya kepada Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam.
“Kenapa tanganmu bisa seperti itu?” Tanya Rasulullah kembali.
Lalu diceritakan wanita tersebut apa yang terjadi dengan dirinya. “Saya bermimpi seakan kiamat telah terjadi. Neraka jahannam telah menyala dan surga telah terhidang. Di dalam neraka terdapat beberapa lembah. Kulihat ibuku berada di salah satu lembah tersebut. Di tangan kanannya terdapat lemak dan di tangan kirinya terdapat lap kecil yang menghindarkan tangannya dari terkaman api neraka.”
“Mengapa ibu bisa berada di lembah tersebut?” Bukankah ibu seorang yang taat kepada Allah dan Ayah selalu ridha dan sayang terhadap ibu?” tanyaku kepada ibuku.
“Anakku, semasa di dunia ibu pelit. Di sinilah tempat ibu.”
“Lalu apa maksudnya lemak dan kain yang menempel di tangan ibu?”
“Ini adalah balasan sedekah ibu saat masih di dunia. Selama hidup, ibu tidak pernah bersedekah kecuali lemak dan kain lap. Dua benda inilah yang melindungi tangan ibu dari sengatan api neraka.”
Aku pun bertanya kembali, “Ayah di mana, Bu?” “Ayahmu dermawan. Tentulah ia sedang berada di surga di tempat orang-orang yang dermawan.”
Aku bergegas ke Surga untuk menemui ayahku. Kulihat ayahku sedang berdiri di dekat telagamu, ya Rasul. Ia sedang memberi minum manusia, menerima gelas dari tangan Ali. Ali dari Utsman. Utsman dari Umar. Umar dari Abu bakar. Abu Bakar dari tanganmu, ya Rasul.
“Wahai Ayah! Mengapa ibuku yang taat kepada Allah dan patuh dengan Ayah tega ayah biar berada di salah satu lembah di neraka? Sedangkan Ayah sibuk memberi minum manusia dari telaga Rasulullah.
Ayah, ibu haus di neraka sana. Berikanlah ia seteguk air saja,” pintaku kepada Ayah.
“Wahai anakku, ibumu itu berada di tempat orang yang pelit dan orang yang berdosa. Allah mengharamkan air telaga ini diberikan kepada orang-orang yang pelit dan orang-orang yang berdosa.” Ayah menolak untuk memberikannya.
Aku nekad mengambilnya segelas, untuk diminumkan kepada ibuku. Ketika ibuku sedang minum, kudengar suara, “Semoga Allah melumpuhkan tanganmu karena kamu datang memberi minum kepada orang yang pelit dari telaga Muhammad.”
Aku terbangun. Dan kulihat tanganku menjadi lumpuh.
Nabi Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Kepelitan ibumu telah menghukummu di dunia ini. Begitulah nanti yang akan dirasakan ibumu ketika dihukum Allah?”
Aisyah menceritakan, Nabi Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam. Lalu menaruhkan tongkatnya ke tangan kanan wanita itu dan berdoa, “Ya Allah, dengan kebenaran mimpi yang dituturkan wanita ini sembuhkanlah tangannya seperti semula.”
Tangan kanannya pun sembuh, dan dia pun segera bertaubat kepada Allah Subhanahu wa-ta’ala.
Apa yang layak dipetik dari kisah yang diceritakan Aisyah, isteri Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam tersebut? Ada tiga hal yang bisa dijadikan pelajaran.
Pertama, jangan ragukan kalau surga dan neraka itu memang ada. Karena itu, tak pantas bila kita tak menyiapkan diri untuk masuk ke surga dan menjauhkan diri segala perilaku yang bisa menuntun ke neraka. Cerita adanya telaga Rasul Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam di dalam surga menjadi salah satu kenikmatan yang bakal dirasakan oleh penduduk surga nantinya. Oleh sebab itu, sering-sering berdoa kepada Allah agar diizinkan merasakan telaga Rasulullah. Kalau sudah merasakan telaga Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam dipastikan sudah berada di surga.
Ada riwayat dari Abu Said yang menarik untuk diingat agar menguatkan kita saat beribadah. Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “ Bila penduduk surga memasuki surga, maka akan terdengar suara, “Inilah saatnya kehidupan abadi. Saat yang menjadikan kalian selalu sehat dan tak akan pernah sakit. Saat yang membuat kalian menjadi seperti remaja dan tidak pernah tua. Saat yang membuat kalian menerima kenikmatan. Tak akan susah untuk selama-lamanya.”
Semua ini seperti apa yang difirmankan Allah Subhanahu Wata’ala.
“….. Mereka diseru. Inilah surga yang diwariskan kepadamu karena amal yang kamu kerjakan.” (QS. Al-A’raf [7]: 43).
Kedua, telaga Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam sudah ditetapkan menjadi balasan untuk orang-orang dermawan di akhirat kelak. Beruntung sekali bila kita tergolong orang yang dermawan. Setiap kali kita bersedekah makin dekat kesempatan kita menikmati telaga Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam di akhirat kelak. Sungguh, ini kenikmatan yang luar biasa. Di dunia saja sedekah yang diberikan kepada orang lain, mendapat balasan langsung dari Allah Subhanahu wa-ta’ala, kita begitu senang. Apalagi sampai dapat merasakan telaga Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam.
Bila dikaji di dalam al-Qur’an, Allah mengganti setiap harta yang disedekahkan dengan jumlah minimal 10 kali lipat. Bisa dilihat di surat Al-An’am [6]: ayat 160. Allah menjanjikan balasan 10 kali lipat bagi mereka yang berbuat baik. Bersedekah adalah salah satu perbuatan baik. Bahkan di dalam surat al-Baqarah [2] ayat 261, Allah menjanjikan balasan sampai 700 kali lipat.
Maka layak bila kita sering mengingat-ingat hadits yang didengar Ali Kwh dari Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam ”Sedekah, jika telah dikeluarkan dari tangan pemiliknya, lebih dahulu berada di ‘tangan’ Allah, sebelum sampai ke tangan orang yang menerima sedekah. Lalu sedekah itu akan mengucap lima kalimat: Aku kecil kau besarkan, aku sedikit kau perbanyak, aku musuh kau cintai, aku fana kau kekalkan, kamu penjagaku, kini aku menjagamu.”
Ketiga, jika tidak mau berbagi kepada orang lain, siap-siaplah menjadi penghuni neraka. Sekiranya sedekah harta yang diberikan cuma sedikit, tentu hanya itu yang akan dibawanya ke akhirat kelak. Riwayat yang diutarakan Aisyah ra. di atas sudah jelas menceritakan bagaimana nasib dan kondisi orang pelit di dalam neraka. Di dunia saja, orang pelit sering dijauhi masyarakat. Bahkan masyarakat malas berteman dengannya, apalagi di akhirat. Tak akan ada yang bisa menolongnya ketika sudah berada di neraka. Persis seperti apa yang dikatakan Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam “Orang pelit jauh dari Allah, jauh dari surga-Nya, dan jauh dari manusia, tapi dekat dengan neraka-Nya. Dan orang dermawan dekat dengan Allah, dekat
dengan surganya, gampang bergaul dengan manusia, dan jauh dari api neraka.”
Karena itu, marilah kita menjadi golongan orang dermawan. Golongan yang bakal mendapatkan air dari telaga Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam. Semoga… Aamiin. *
DALAM beberapa kitab tazkiyatun nafs, seperti Tanbiihul Ghaafiliin, Al-Jauharul Mauhuub wa Munabbihatul Quluub, dan Al-Mawaaidz al-‘Ushfuuriyyah, dicantumkan sebuah kisah ganjaran yang diberikan Allah Subhanahu Wata’ala kepada seorang wanita yang pelit bersedekah saat ia hidup di dunia. Inilah petikan kisahnya.
Suatu hari datang kepada Nabi Shalallaahu‘Alaihi Wasallam seorang wanita dengan tangan kanan yang tidak berfungsi (lumpuh). “Ya Rasul, berdoalah kepada Allah untuk tanganku ini agar bisa berfungsi kembali seperti semula,” pintanya kepada Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam.
“Kenapa tanganmu bisa seperti itu?” Tanya Rasulullah kembali.
Lalu diceritakan wanita tersebut apa yang terjadi dengan dirinya. “Saya bermimpi seakan kiamat telah terjadi. Neraka jahannam telah menyala dan surga telah terhidang. Di dalam neraka terdapat beberapa lembah. Kulihat ibuku berada di salah satu lembah tersebut. Di tangan kanannya terdapat lemak dan di tangan kirinya terdapat lap kecil yang menghindarkan tangannya dari terkaman api neraka.”
“Mengapa ibu bisa berada di lembah tersebut?” Bukankah ibu seorang yang taat kepada Allah dan Ayah selalu ridha dan sayang terhadap ibu?” tanyaku kepada ibuku.
“Anakku, semasa di dunia ibu pelit. Di sinilah tempat ibu.”
“Lalu apa maksudnya lemak dan kain yang menempel di tangan ibu?”
“Ini adalah balasan sedekah ibu saat masih di dunia. Selama hidup, ibu tidak pernah bersedekah kecuali lemak dan kain lap. Dua benda inilah yang melindungi tangan ibu dari sengatan api neraka.”
Aku pun bertanya kembali, “Ayah di mana, Bu?” “Ayahmu dermawan. Tentulah ia sedang berada di surga di tempat orang-orang yang dermawan.”
Aku bergegas ke Surga untuk menemui ayahku. Kulihat ayahku sedang berdiri di dekat telagamu, ya Rasul. Ia sedang memberi minum manusia, menerima gelas dari tangan Ali. Ali dari Utsman. Utsman dari Umar. Umar dari Abu bakar. Abu Bakar dari tanganmu, ya Rasul.
“Wahai Ayah! Mengapa ibuku yang taat kepada Allah dan patuh dengan Ayah tega ayah biar berada di salah satu lembah di neraka? Sedangkan Ayah sibuk memberi minum manusia dari telaga Rasulullah.
Ayah, ibu haus di neraka sana. Berikanlah ia seteguk air saja,” pintaku kepada Ayah.
“Wahai anakku, ibumu itu berada di tempat orang yang pelit dan orang yang berdosa. Allah mengharamkan air telaga ini diberikan kepada orang-orang yang pelit dan orang-orang yang berdosa.” Ayah menolak untuk memberikannya.
Aku nekad mengambilnya segelas, untuk diminumkan kepada ibuku. Ketika ibuku sedang minum, kudengar suara, “Semoga Allah melumpuhkan tanganmu karena kamu datang memberi minum kepada orang yang pelit dari telaga Muhammad.”
Aku terbangun. Dan kulihat tanganku menjadi lumpuh.
Nabi Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Kepelitan ibumu telah menghukummu di dunia ini. Begitulah nanti yang akan dirasakan ibumu ketika dihukum Allah?”
Aisyah menceritakan, Nabi Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam. Lalu menaruhkan tongkatnya ke tangan kanan wanita itu dan berdoa, “Ya Allah, dengan kebenaran mimpi yang dituturkan wanita ini sembuhkanlah tangannya seperti semula.”
Tangan kanannya pun sembuh, dan dia pun segera bertaubat kepada Allah Subhanahu wa-ta’ala.
Apa yang layak dipetik dari kisah yang diceritakan Aisyah, isteri Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam tersebut? Ada tiga hal yang bisa dijadikan pelajaran.
Pertama, jangan ragukan kalau surga dan neraka itu memang ada. Karena itu, tak pantas bila kita tak menyiapkan diri untuk masuk ke surga dan menjauhkan diri segala perilaku yang bisa menuntun ke neraka. Cerita adanya telaga Rasul Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam di dalam surga menjadi salah satu kenikmatan yang bakal dirasakan oleh penduduk surga nantinya. Oleh sebab itu, sering-sering berdoa kepada Allah agar diizinkan merasakan telaga Rasulullah. Kalau sudah merasakan telaga Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam dipastikan sudah berada di surga.
Ada riwayat dari Abu Said yang menarik untuk diingat agar menguatkan kita saat beribadah. Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “ Bila penduduk surga memasuki surga, maka akan terdengar suara, “Inilah saatnya kehidupan abadi. Saat yang menjadikan kalian selalu sehat dan tak akan pernah sakit. Saat yang membuat kalian menjadi seperti remaja dan tidak pernah tua. Saat yang membuat kalian menerima kenikmatan. Tak akan susah untuk selama-lamanya.”
Semua ini seperti apa yang difirmankan Allah Subhanahu Wata’ala.
“….. Mereka diseru. Inilah surga yang diwariskan kepadamu karena amal yang kamu kerjakan.” (QS. Al-A’raf [7]: 43).
Kedua, telaga Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam sudah ditetapkan menjadi balasan untuk orang-orang dermawan di akhirat kelak. Beruntung sekali bila kita tergolong orang yang dermawan. Setiap kali kita bersedekah makin dekat kesempatan kita menikmati telaga Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam di akhirat kelak. Sungguh, ini kenikmatan yang luar biasa. Di dunia saja sedekah yang diberikan kepada orang lain, mendapat balasan langsung dari Allah Subhanahu wa-ta’ala, kita begitu senang. Apalagi sampai dapat merasakan telaga Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam.
Bila dikaji di dalam al-Qur’an, Allah mengganti setiap harta yang disedekahkan dengan jumlah minimal 10 kali lipat. Bisa dilihat di surat Al-An’am [6]: ayat 160. Allah menjanjikan balasan 10 kali lipat bagi mereka yang berbuat baik. Bersedekah adalah salah satu perbuatan baik. Bahkan di dalam surat al-Baqarah [2] ayat 261, Allah menjanjikan balasan sampai 700 kali lipat.
Maka layak bila kita sering mengingat-ingat hadits yang didengar Ali Kwh dari Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam ”Sedekah, jika telah dikeluarkan dari tangan pemiliknya, lebih dahulu berada di ‘tangan’ Allah, sebelum sampai ke tangan orang yang menerima sedekah. Lalu sedekah itu akan mengucap lima kalimat: Aku kecil kau besarkan, aku sedikit kau perbanyak, aku musuh kau cintai, aku fana kau kekalkan, kamu penjagaku, kini aku menjagamu.”
Ketiga, jika tidak mau berbagi kepada orang lain, siap-siaplah menjadi penghuni neraka. Sekiranya sedekah harta yang diberikan cuma sedikit, tentu hanya itu yang akan dibawanya ke akhirat kelak. Riwayat yang diutarakan Aisyah ra. di atas sudah jelas menceritakan bagaimana nasib dan kondisi orang pelit di dalam neraka. Di dunia saja, orang pelit sering dijauhi masyarakat. Bahkan masyarakat malas berteman dengannya, apalagi di akhirat. Tak akan ada yang bisa menolongnya ketika sudah berada di neraka. Persis seperti apa yang dikatakan Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam “Orang pelit jauh dari Allah, jauh dari surga-Nya, dan jauh dari manusia, tapi dekat dengan neraka-Nya. Dan orang dermawan dekat dengan Allah, dekat
dengan surganya, gampang bergaul dengan manusia, dan jauh dari api neraka.”
Karena itu, marilah kita menjadi golongan orang dermawan. Golongan yang bakal mendapatkan air dari telaga Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam. Semoga… Aamiin. *
Aku Ingin Anak Lekakiku Menirumu
Pena Ilmu dan Dawah
Ketika lahir, anak lelakiku gelap benar kulitnya, Lalu kubilang pada ayahnya: “Subhanallah, dia benar-benar mirip denganmu ya!”
Suamiku menjawab: “Bukankah sesuai keinginanmu? Kau yang bilang kalau anak lelaki ingin seperti aku.”
Aku mengangguk. Suamiku kembali bekerja seperti biasa. Ketika bayi kecilku berulang tahun pertama, aku mengusulkan perayaannya dengan mengkhatamkan Al Quran di rumah Lalu kubilang pada suamiku: “Supaya ia menjadi penghafal Kitabullah ya,Yah.”
Suamiku menatap padaku seraya pelan berkata: “Oh ya. Ide bagus itu.”
Bayi kami itu, kami beri nama Ahmad, mengikuti panggilan Rasulnya. Tidak berapa lama, ia sudah pandai memanggil-manggil kami berdua: Ammaa. Apppaa. Lalu ia menunjuk pada dirinya seraya berkata: Ammat! Maksudnya ia Ahmad. Kami berdua sangat bahagia dengan kehadirannya.
Ahmad tumbuh jadi anak cerdas, persis seperti papanya. Pelajaran matematika sederhana sangat mudah dikuasainya. Ah, papanya memang jago matematika. Ia kebanggaan
keluarganya. Sekarang pun sedang S3 di bidang Matematika.
Ketika Ahmad ulang tahun kelima, kami mengundang keluarga. Berdandan rapi kami semua. Tibalah saat Ahmad menjadi bosan dan agak mengesalkan. Tiba-tiba ia minta naik ke punggung papanya. Entah apa yang menyebabkan papanya begitu berang, mungkin
menganggap Ahmad sudah sekolah, sudah terlalu besar untuk main kuda-kudaan, atau
lantaran banyak tamu dan ia kelelahan. Badan Ahmad terhempas ditolak papanya, wajahnya
merah, tangisnya pecah, Muhammad terluka hatinya di hari ulang tahunnya kelima.
Sejak hari itu, Ahamad jadi pendiam. Murung ke sekolah, menyendiri di rumah. Ia tak lagi suka bertanya, dan ia menjadi amat mudah marah. Aku coba mendekati suamiku, dan menyampaikan alasanku. Ia sedang menyelesaikan papernya dan tak mau diganggu oleh
urusan seremeh itu, katanya.
Tahun demi tahun berlalu. Tak terasa Ahmad telah selesai S1. Pemuda gagah, pandai dan pendiam telah membawakan aku seorang mantu dan seorang cucu. Ketika lahir, cucuku
itu, istrinya berseru sambil tertawa-tawa lucu: “Subhanallah! Kulitnya gelap, Mas, persis seperti kulitmu!”
Ahmad menoleh dengan kaku, tampak ia tersinggung dan merasa malu.
“Salahmu. Kamu yang ingin sendiri, kan. Kalau lelaki ingin seperti aku!”
Di tanganku, terajut ruang dan waktu. Terasa ada yang pedih di hatiku. Ada yang mencemaskan aku.
Cucuku pulang ke rumah, bulan berlalu. Kami, nenek dan kakeknya, datang bertamu. Ahmad kecil sedang digendong ayahnya. Menangis ia. Tiba-tiba Ahmad anakku menyergah sambil berteriak menghentak,
“Ah, gimana sih, kok nggak dikasih pampers anak ini!” Dengan kasar disorongkannya bayi mungil itu.
Suamiku membaca korannya, tak tergerak oleh suasana. Ahmad, papa bayi ini, segera membersihkan dirinya di kamar mandi. Aku, wanita tua, ruang dan waktu kurajut dalam pedih duka seorang istri dan seorang ibu. Aku tak sanggup lagi menahan gelora di dada ini. Pecahlah tangisku serasa sudah berabad aku menyimpannya. Aku rebut koran di tangan suamiku dan kukatakan padanya:
“Dulu kau hempaskan Ahmad di lantai itu! Ulang tahun ke lima, kau ingat? Kau tolak ia merangkak di punggungmu! Dan ketika aku minta kau perbaiki, kau bilang kau sibuk sekali. Kau dengar? Kau dengar anakmu tadi? Dia tidak suka dipipisi. Dia asing dengan anaknya sendiri!”
Allahumma Shali ala Muhammad. Allahumma Shalli alaihi wassalaam. Aku ingin anakku menirumu, wahai Nabi. Engkau membopong cucu-cucumu di punggungmu, engkau bermain berkejaran dengan mereka Engkau bahkan menengok seorang anak yang burung peliharaannya mati. Dan engkau pula yang berkata ketika seorang ibu merenggut bayinya dari gendonganmu,
“Bekas najis ini bisa kuseka, tetapi apakah kau bisa menggantikan saraf halus yang putus di kepalanya?”
Aku memandang suamiku yang terpaku. Aku memandang anakku yang tegak diam bagai karang tajam. Kupandangi keduanya, berlinangan air mata. Aku tak boleh berputus asa dari Rahmat-Mu, ya Allah, bukankah begitu? Lalu kuambil tangan suamiku, meski kaku, kubimbing ia mendekat kepada Ahmad. Kubawa tangannya menyisir kepala anaknya, yang berpuluh tahun tak merasakan sentuhan tangan seorang ayah yang didamba. Dada Ahmad berguncang menerima belaian. Kukatakan di hadapan mereka berdua,
“Lakukanlah ini, permintaan seorang yang akan dijemput ajal yang tak mampu mewariskan apa-apa: kecuali Cinta. Lakukanlah, demi setiap anak lelaki yang akan lahir dan menurunkan keturunan demi keturunan.
Lakukanlah, untuk sebuah perubahan besar di rumah tangga kita! Juga di permukaan dunia. Tak akan pernah ada perdamaian selama anak laki-laki tak diajarkan rasa kasih dan sayang, ucapan kemesraan, sentuhan dan belaian, bukan hanya pelajaran untuk menjadi jantan seperti yang kalian pahami. Kegagahan tanpa perasaan.
Dua laki-laki dewasa mengambang air di mata mereka. Dua laki-laki dewasa dan seorang wanita tua terpaku di tempatnya.
Memang tak mudah untuk berubah. Tapi harus dimulai. Aku serahkan bayi Ahmad ke pelukan suamiku. Aku bilang: “Tak ada kata terlambat untuk mulai, Sayang.”
Dua laki-laki dewasa itu kini belajar kembali. Menggendong bersama, bergantian menggantikan popoknya, pura-pura merancang hari depan si bayi sambil tertawa-tawa
berdua, membuka kisah-kisah lama mereka yang penuh kabut rahasia, dan menemukan
betapa sesungguhnya di antara keduanya Allah menitipkan perasaan saling membutuhkan
yang tak pernah terungkapkan dengan kata, atau sentuhan. Kini tawa mereka memenuhi
rongga dadaku yang sesak oleh bahagia, syukur pada-Mu
Ya Allah! Engkaulah penolong satu-satunya ketika semua jalan tampak buntu.
Engkaulah cahaya di ujung keputusasaanku.
Tiga laki-laki dalam hidupku aku titipkan mereka di tangan-Mu.
Kelak, jika aku boleh bertemu dengannya, Nabiku, aku ingin sekali berkata:
Ya, Nabi. aku telah mencoba sepenuh daya tenaga untuk mengajak mereka semua menirumu!
Amin, Alhamdulillah
******
Jika anak di besarkan dengan celaan, ia belajar memaki
Jika anak di besarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi
Jika anak di besarkan dengan ketakutan, ia belajar gelisah
Jika anak di besarkan dengan rasa iba, ia belajar menyesali diri
Jika anak di besarkan dengan olok-olok, ia belajar rendah diri
Jika anak di besarkan dengan dipermalukan, ia belajar merasa bersalah
Jika anak di besarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri
Jika anak di besarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri
Jika anak di besarkan dengan pujian, ia belajar menghargai
Jika anak di besarkan dengan penerimaan, ia belajar mencinta
Jika anak di besarkan dengan dukungan, ia belajar menenangi diri
Jika anak di besarkan dengan pengakuan, ia belajar mengenali tujuan
Jika anak di besarkan dengan rasa berbagi, ia belajar kedermawaan
Jika anak di besarkan dengan kejujuran dan keterbukaan, ia belajar kebenaran dan keadilan
Jika anak di besarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan
Jika anak di besarkan dengan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan
Jika anak di besarkan dengan ketentraman, ia belajar berdamai dengan pikiran
Ketika lahir, anak lelakiku gelap benar kulitnya, Lalu kubilang pada ayahnya: “Subhanallah, dia benar-benar mirip denganmu ya!”
Suamiku menjawab: “Bukankah sesuai keinginanmu? Kau yang bilang kalau anak lelaki ingin seperti aku.”
Aku mengangguk. Suamiku kembali bekerja seperti biasa. Ketika bayi kecilku berulang tahun pertama, aku mengusulkan perayaannya dengan mengkhatamkan Al Quran di rumah Lalu kubilang pada suamiku: “Supaya ia menjadi penghafal Kitabullah ya,Yah.”
Suamiku menatap padaku seraya pelan berkata: “Oh ya. Ide bagus itu.”
Bayi kami itu, kami beri nama Ahmad, mengikuti panggilan Rasulnya. Tidak berapa lama, ia sudah pandai memanggil-manggil kami berdua: Ammaa. Apppaa. Lalu ia menunjuk pada dirinya seraya berkata: Ammat! Maksudnya ia Ahmad. Kami berdua sangat bahagia dengan kehadirannya.
Ahmad tumbuh jadi anak cerdas, persis seperti papanya. Pelajaran matematika sederhana sangat mudah dikuasainya. Ah, papanya memang jago matematika. Ia kebanggaan
keluarganya. Sekarang pun sedang S3 di bidang Matematika.
Ketika Ahmad ulang tahun kelima, kami mengundang keluarga. Berdandan rapi kami semua. Tibalah saat Ahmad menjadi bosan dan agak mengesalkan. Tiba-tiba ia minta naik ke punggung papanya. Entah apa yang menyebabkan papanya begitu berang, mungkin
menganggap Ahmad sudah sekolah, sudah terlalu besar untuk main kuda-kudaan, atau
lantaran banyak tamu dan ia kelelahan. Badan Ahmad terhempas ditolak papanya, wajahnya
merah, tangisnya pecah, Muhammad terluka hatinya di hari ulang tahunnya kelima.
Sejak hari itu, Ahamad jadi pendiam. Murung ke sekolah, menyendiri di rumah. Ia tak lagi suka bertanya, dan ia menjadi amat mudah marah. Aku coba mendekati suamiku, dan menyampaikan alasanku. Ia sedang menyelesaikan papernya dan tak mau diganggu oleh
urusan seremeh itu, katanya.
Tahun demi tahun berlalu. Tak terasa Ahmad telah selesai S1. Pemuda gagah, pandai dan pendiam telah membawakan aku seorang mantu dan seorang cucu. Ketika lahir, cucuku
itu, istrinya berseru sambil tertawa-tawa lucu: “Subhanallah! Kulitnya gelap, Mas, persis seperti kulitmu!”
Ahmad menoleh dengan kaku, tampak ia tersinggung dan merasa malu.
“Salahmu. Kamu yang ingin sendiri, kan. Kalau lelaki ingin seperti aku!”
Di tanganku, terajut ruang dan waktu. Terasa ada yang pedih di hatiku. Ada yang mencemaskan aku.
Cucuku pulang ke rumah, bulan berlalu. Kami, nenek dan kakeknya, datang bertamu. Ahmad kecil sedang digendong ayahnya. Menangis ia. Tiba-tiba Ahmad anakku menyergah sambil berteriak menghentak,
“Ah, gimana sih, kok nggak dikasih pampers anak ini!” Dengan kasar disorongkannya bayi mungil itu.
Suamiku membaca korannya, tak tergerak oleh suasana. Ahmad, papa bayi ini, segera membersihkan dirinya di kamar mandi. Aku, wanita tua, ruang dan waktu kurajut dalam pedih duka seorang istri dan seorang ibu. Aku tak sanggup lagi menahan gelora di dada ini. Pecahlah tangisku serasa sudah berabad aku menyimpannya. Aku rebut koran di tangan suamiku dan kukatakan padanya:
“Dulu kau hempaskan Ahmad di lantai itu! Ulang tahun ke lima, kau ingat? Kau tolak ia merangkak di punggungmu! Dan ketika aku minta kau perbaiki, kau bilang kau sibuk sekali. Kau dengar? Kau dengar anakmu tadi? Dia tidak suka dipipisi. Dia asing dengan anaknya sendiri!”
Allahumma Shali ala Muhammad. Allahumma Shalli alaihi wassalaam. Aku ingin anakku menirumu, wahai Nabi. Engkau membopong cucu-cucumu di punggungmu, engkau bermain berkejaran dengan mereka Engkau bahkan menengok seorang anak yang burung peliharaannya mati. Dan engkau pula yang berkata ketika seorang ibu merenggut bayinya dari gendonganmu,
“Bekas najis ini bisa kuseka, tetapi apakah kau bisa menggantikan saraf halus yang putus di kepalanya?”
Aku memandang suamiku yang terpaku. Aku memandang anakku yang tegak diam bagai karang tajam. Kupandangi keduanya, berlinangan air mata. Aku tak boleh berputus asa dari Rahmat-Mu, ya Allah, bukankah begitu? Lalu kuambil tangan suamiku, meski kaku, kubimbing ia mendekat kepada Ahmad. Kubawa tangannya menyisir kepala anaknya, yang berpuluh tahun tak merasakan sentuhan tangan seorang ayah yang didamba. Dada Ahmad berguncang menerima belaian. Kukatakan di hadapan mereka berdua,
“Lakukanlah ini, permintaan seorang yang akan dijemput ajal yang tak mampu mewariskan apa-apa: kecuali Cinta. Lakukanlah, demi setiap anak lelaki yang akan lahir dan menurunkan keturunan demi keturunan.
Lakukanlah, untuk sebuah perubahan besar di rumah tangga kita! Juga di permukaan dunia. Tak akan pernah ada perdamaian selama anak laki-laki tak diajarkan rasa kasih dan sayang, ucapan kemesraan, sentuhan dan belaian, bukan hanya pelajaran untuk menjadi jantan seperti yang kalian pahami. Kegagahan tanpa perasaan.
Dua laki-laki dewasa mengambang air di mata mereka. Dua laki-laki dewasa dan seorang wanita tua terpaku di tempatnya.
Memang tak mudah untuk berubah. Tapi harus dimulai. Aku serahkan bayi Ahmad ke pelukan suamiku. Aku bilang: “Tak ada kata terlambat untuk mulai, Sayang.”
Dua laki-laki dewasa itu kini belajar kembali. Menggendong bersama, bergantian menggantikan popoknya, pura-pura merancang hari depan si bayi sambil tertawa-tawa
berdua, membuka kisah-kisah lama mereka yang penuh kabut rahasia, dan menemukan
betapa sesungguhnya di antara keduanya Allah menitipkan perasaan saling membutuhkan
yang tak pernah terungkapkan dengan kata, atau sentuhan. Kini tawa mereka memenuhi
rongga dadaku yang sesak oleh bahagia, syukur pada-Mu
Ya Allah! Engkaulah penolong satu-satunya ketika semua jalan tampak buntu.
Engkaulah cahaya di ujung keputusasaanku.
Tiga laki-laki dalam hidupku aku titipkan mereka di tangan-Mu.
Kelak, jika aku boleh bertemu dengannya, Nabiku, aku ingin sekali berkata:
Ya, Nabi. aku telah mencoba sepenuh daya tenaga untuk mengajak mereka semua menirumu!
Amin, Alhamdulillah
******
Jika anak di besarkan dengan celaan, ia belajar memaki
Jika anak di besarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi
Jika anak di besarkan dengan ketakutan, ia belajar gelisah
Jika anak di besarkan dengan rasa iba, ia belajar menyesali diri
Jika anak di besarkan dengan olok-olok, ia belajar rendah diri
Jika anak di besarkan dengan dipermalukan, ia belajar merasa bersalah
Jika anak di besarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri
Jika anak di besarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri
Jika anak di besarkan dengan pujian, ia belajar menghargai
Jika anak di besarkan dengan penerimaan, ia belajar mencinta
Jika anak di besarkan dengan dukungan, ia belajar menenangi diri
Jika anak di besarkan dengan pengakuan, ia belajar mengenali tujuan
Jika anak di besarkan dengan rasa berbagi, ia belajar kedermawaan
Jika anak di besarkan dengan kejujuran dan keterbukaan, ia belajar kebenaran dan keadilan
Jika anak di besarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan
Jika anak di besarkan dengan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan
Jika anak di besarkan dengan ketentraman, ia belajar berdamai dengan pikiran
Aku Ingin Mama Kembali (Sebuah kisah teladan dari negeri China)
Pena Ilmu dan Dawah
Di Propinsi Zhejiang China, ada seorang anak laki yang luar biasa, sebut saja namanya Zhang Da. Perhatiannya yang besar kepada Papanya, hidupnya yang pantang menyerah dan mau bekerja keras, serta tindakan dan perkataannya yang menyentuh hati membuat Zhang Da, anak lelaki yang masih berumur 10 tahun ketika memulai semua itu, pantas disebut anak yang luar biasa.
Saking jarangnya seorang anak yang berbuat demikian, sehingga ketika Pemerintah China mendengar dan menyelidiki apa yang Zhang Da perbuat maka merekapun memutuskan untuk menganugerahi penghargaan Negara yang Tinggi kepadanya.
Zhang Da adalah salah satu dari sepuluh orang yang dinyatakan telah melakukan perbuatan yang luar biasa dari antara 1,4 milyar penduduk China. Tepatnya 27 Januari 2006 Pemerintah China, di Propinsi Jiangxu, kota Nanjing, serta disiarkan secara Nasional keseluruh pelosok negeri, memberikan penghargaan kepada 10 (sepuluh) orang yang luar biasa, salah satunya adalah Zhang Da.
Pada tahun 2001, Zhang Da ditinggal pergi oleh Mamanya yang sudah tidak tahan hidup menderita karena miskin dan karena suami yang sakit keras. Dan sejak hari itu Zhang Da hidup dengan seorang Papa yang tidak bisa bekerja tidak bisa berjalan, dan sakit-sakitan. Kondisi ini memaksa seorang bocah ingusan yang waktu itu belum genap 10 tahun untuk mengambil tanggungjawab yang sangat berat. Ia harus sekolah, ia harus mencari makan untuk Papanya dan juga dirinya sendiri, ia juga harus memikirkan obat-obat yang yang pasti tidak murah untuk dia. Dalam kondisi yang seperti inilah kisah luar biasa Zhang Da dimulai. Ia masih terlalu kecil untuk menjalankan tanggung jawab yang susah dan pahit ini. Ia adalah salah satu dari sekian banyak anak yang harus menerima kenyataan hidup yang pahit di dunia ini.Tetapi yang membuat Zhang Da berbeda adalah bahwa ia tidak menyerah.
Hidup harus terus berjalan, tapi tidak dengan melakukan kejahatan, melainkan memikul tanggungjawab untuk meneruskan kehidupannya dan papanya. Demikian ungkapan Zhang Da ketika menghadapi utusan pemerintah yang ingin tahu apa yang dikerjakannya.
Ia mulai lembaran baru dalam hidupnya dengan terus bersekolah. Dari rumah sampai sekolah harus berjalan kaki melewati hutan kecil. Dalam perjalanan dari dan ke sekolah itulah, Ia mulai makan daun, biji-bijian dan buah-buahan yang ia temui. Kadang juga ia menemukan sejenis jamur, atau rumput dan ia coba memakannya. Dari mencoba-coba makan itu semua, ia tahu mana yang masih bisa ditolerir oleh lidahnya dan mana yang tidak bisa ia makan. Setelah jam pulang sekolah di siang hari dan juga sore hari, ia bergabung dengan beberapa tukang batu untuk membelah batu-batu besar dan memperoleh upah dari pekerjaan itu. Hasil kerja sebagai tukang batu ia gunakan untuk membeli beras dan obat-obatan untuk papanya. Hidup seperti ini ia jalani selama lima tahun tetapi badannya tetap sehat, segar dan kuat.
Zhang Da Merawat Papanya yang Sakit.
Sejak umur 10 tahun, ia mulai tanggungjawab untuk merawat papanya. Ia menggendong papanya ke WC, ia menyeka dan sekali-sekali memandikan papanya, ia membeli beras dan membuat bubur, dan segala urusan papanya, semua dia kerjakan dengan rasa tanggungjawab dan kasih. Semua pekerjaan ini menjadi tanggungjawabnya sehari-hari.
Zhang Da menyuntik sendiri papanya.
Obat yang mahal dan jauhnya tempat berobat membuat Zhang Da berpikir untuk menemukan cara terbaik untuk mengatasi semua ini. Sejak umur sepuluh tahun ia mulai belajar tentang obat-obatan melalui sebuah buku bekas yang ia beli. Yang membuatnya luar biasa adalah ia belajar bagaimana seorang suster memberikan ijeksi/suntikan kepada pasiennya.
Setelah ia rasa ia mampu, ia nekad untuk menyuntik papanya sendiri. Saya sungguh kagum, kalau anak kecil main dokter-dokteran dan suntikan itu sudah biasa. Tapi jika anak 10 tahun memberikan suntikan seperti layaknya suster atau dokter yang sudah biasa memberi injeksi saya baru tahu hanya Zhang Da. Orang bisa bilang apa yang dilakukannya adalah perbuatan nekad, sayapun berpendapat demikian. Namun jika kita bisa memahami kondisinya maka saya ingin katakan bahwa Zhang Da adalah anak cerdas yang kreatif dan mau belajar untuk mengatasi kesulitan yang sedang ada dalam hidup dan kehidupannya. Sekarang pekerjaan menyuntik papanya sudah dilakukannya selama lebih kurang lima tahun, maka Zhang Da sudah trampil dan ahli menyuntik.
Aku Mau Mama Kembali
Ketika mata pejabat, pengusaha, para artis dan orang terkenal yang hadir dalam acara penganugerahan penghargaan tersebut sedang tertuju kepada Zhang Da,
Pembawa Acara (MC) bertanya kepadanya, “Zhang Da, sebut saja kamu mau apa, sekolah di mana, dan apa yang kamu rindukan untuk terjadi dalam hidupmu, berapa uang yang kamu butuhkan sampai kamu selesai kuliah, besar nanti mau kuliah di mana, sebut saja. Pokoknya apa yang kamu idam-idamkan sebut saja, di sini ada banyak pejabat, pengusaha, orang terkenal yang hadir.
Saat ini juga ada ratusan juta orang yang sedang melihat kamu melalui layar televisi, mereka bisa membantumu!” Zhang Da pun terdiam dan tidak menjawab apa-apa. MC pun berkata lagi kepadanya, “Sebut saja, mereka bisa membantumu” Beberapa menit Zhang Da masih diam, lalu dengan suara bergetar iapun menjawab, “Aku Mau Mama Kembali. Mama kembalilah ke rumah, aku bisa membantu Papa, aku bisa cari makan sendiri, Mama Kembalilah!” demikian Zhang Da bicara dengan suara yang keras dan penuh harap.
Saya bisa lihat banyak pemirsa menitikkan air mata karena terharu, saya pun tidak menyangka akan apa yang keluar dari bibirnya. Mengapa ia tidak minta kemudahan untuk pengobatan papanya, mengapa ia tidak minta deposito yang cukup untuk meringankan hidupnya dan sedikit bekal untuk masa depannya, mengapa ia tidak minta rumah kecil yang dekat dengan rumah sakit, mengapa ia tidak minta sebuah kartu kemudahan dari pemerintah agar ketika ia membutuhkan, melihat katabelece yang dipegangnya semua akan membantunya. Sungguh saya tidak mengerti, tapi yang saya tahu apa yang dimintanya, itulah yang paling utama bagi dirinya. Aku Mau Mama Kembali, sebuah ungkapan yang mungkin sudah dipendamnya sejak saat melihat mamanya pergi meninggalkan dia dan papanya.
Tidak semua orang bisa sekuat dan sehebat Zhang Da dalam mensiasati kesulitan hidup ini. Tapi setiap kita pastinya telah dikaruniai kemampuan dan kekuatan yg istimewa untuk menjalani ujian di dunia. Sehebat apapun ujian yg dihadapi pasti ada jalan keluarnya ditiap-tiap kesulitan ada kemudahan dan Tuhan tidak akan menimpakan kesulitan diluar kemampuan umat-Nya.
Jadi janganlah menyerah dengan keadaan, jika sekarang sedang kurang beruntung, sedang mengalami kekalahan bangkitlah! karena sesungguhnya kemenangan akan diberikan kepada siapa saja yg telah berusaha sekuat kemampuannya.
Di Propinsi Zhejiang China, ada seorang anak laki yang luar biasa, sebut saja namanya Zhang Da. Perhatiannya yang besar kepada Papanya, hidupnya yang pantang menyerah dan mau bekerja keras, serta tindakan dan perkataannya yang menyentuh hati membuat Zhang Da, anak lelaki yang masih berumur 10 tahun ketika memulai semua itu, pantas disebut anak yang luar biasa.
Saking jarangnya seorang anak yang berbuat demikian, sehingga ketika Pemerintah China mendengar dan menyelidiki apa yang Zhang Da perbuat maka merekapun memutuskan untuk menganugerahi penghargaan Negara yang Tinggi kepadanya.
Zhang Da adalah salah satu dari sepuluh orang yang dinyatakan telah melakukan perbuatan yang luar biasa dari antara 1,4 milyar penduduk China. Tepatnya 27 Januari 2006 Pemerintah China, di Propinsi Jiangxu, kota Nanjing, serta disiarkan secara Nasional keseluruh pelosok negeri, memberikan penghargaan kepada 10 (sepuluh) orang yang luar biasa, salah satunya adalah Zhang Da.
Pada tahun 2001, Zhang Da ditinggal pergi oleh Mamanya yang sudah tidak tahan hidup menderita karena miskin dan karena suami yang sakit keras. Dan sejak hari itu Zhang Da hidup dengan seorang Papa yang tidak bisa bekerja tidak bisa berjalan, dan sakit-sakitan. Kondisi ini memaksa seorang bocah ingusan yang waktu itu belum genap 10 tahun untuk mengambil tanggungjawab yang sangat berat. Ia harus sekolah, ia harus mencari makan untuk Papanya dan juga dirinya sendiri, ia juga harus memikirkan obat-obat yang yang pasti tidak murah untuk dia. Dalam kondisi yang seperti inilah kisah luar biasa Zhang Da dimulai. Ia masih terlalu kecil untuk menjalankan tanggung jawab yang susah dan pahit ini. Ia adalah salah satu dari sekian banyak anak yang harus menerima kenyataan hidup yang pahit di dunia ini.Tetapi yang membuat Zhang Da berbeda adalah bahwa ia tidak menyerah.
Hidup harus terus berjalan, tapi tidak dengan melakukan kejahatan, melainkan memikul tanggungjawab untuk meneruskan kehidupannya dan papanya. Demikian ungkapan Zhang Da ketika menghadapi utusan pemerintah yang ingin tahu apa yang dikerjakannya.
Ia mulai lembaran baru dalam hidupnya dengan terus bersekolah. Dari rumah sampai sekolah harus berjalan kaki melewati hutan kecil. Dalam perjalanan dari dan ke sekolah itulah, Ia mulai makan daun, biji-bijian dan buah-buahan yang ia temui. Kadang juga ia menemukan sejenis jamur, atau rumput dan ia coba memakannya. Dari mencoba-coba makan itu semua, ia tahu mana yang masih bisa ditolerir oleh lidahnya dan mana yang tidak bisa ia makan. Setelah jam pulang sekolah di siang hari dan juga sore hari, ia bergabung dengan beberapa tukang batu untuk membelah batu-batu besar dan memperoleh upah dari pekerjaan itu. Hasil kerja sebagai tukang batu ia gunakan untuk membeli beras dan obat-obatan untuk papanya. Hidup seperti ini ia jalani selama lima tahun tetapi badannya tetap sehat, segar dan kuat.
Zhang Da Merawat Papanya yang Sakit.
Sejak umur 10 tahun, ia mulai tanggungjawab untuk merawat papanya. Ia menggendong papanya ke WC, ia menyeka dan sekali-sekali memandikan papanya, ia membeli beras dan membuat bubur, dan segala urusan papanya, semua dia kerjakan dengan rasa tanggungjawab dan kasih. Semua pekerjaan ini menjadi tanggungjawabnya sehari-hari.
Zhang Da menyuntik sendiri papanya.
Obat yang mahal dan jauhnya tempat berobat membuat Zhang Da berpikir untuk menemukan cara terbaik untuk mengatasi semua ini. Sejak umur sepuluh tahun ia mulai belajar tentang obat-obatan melalui sebuah buku bekas yang ia beli. Yang membuatnya luar biasa adalah ia belajar bagaimana seorang suster memberikan ijeksi/suntikan kepada pasiennya.
Setelah ia rasa ia mampu, ia nekad untuk menyuntik papanya sendiri. Saya sungguh kagum, kalau anak kecil main dokter-dokteran dan suntikan itu sudah biasa. Tapi jika anak 10 tahun memberikan suntikan seperti layaknya suster atau dokter yang sudah biasa memberi injeksi saya baru tahu hanya Zhang Da. Orang bisa bilang apa yang dilakukannya adalah perbuatan nekad, sayapun berpendapat demikian. Namun jika kita bisa memahami kondisinya maka saya ingin katakan bahwa Zhang Da adalah anak cerdas yang kreatif dan mau belajar untuk mengatasi kesulitan yang sedang ada dalam hidup dan kehidupannya. Sekarang pekerjaan menyuntik papanya sudah dilakukannya selama lebih kurang lima tahun, maka Zhang Da sudah trampil dan ahli menyuntik.
Aku Mau Mama Kembali
Ketika mata pejabat, pengusaha, para artis dan orang terkenal yang hadir dalam acara penganugerahan penghargaan tersebut sedang tertuju kepada Zhang Da,
Pembawa Acara (MC) bertanya kepadanya, “Zhang Da, sebut saja kamu mau apa, sekolah di mana, dan apa yang kamu rindukan untuk terjadi dalam hidupmu, berapa uang yang kamu butuhkan sampai kamu selesai kuliah, besar nanti mau kuliah di mana, sebut saja. Pokoknya apa yang kamu idam-idamkan sebut saja, di sini ada banyak pejabat, pengusaha, orang terkenal yang hadir.
Saat ini juga ada ratusan juta orang yang sedang melihat kamu melalui layar televisi, mereka bisa membantumu!” Zhang Da pun terdiam dan tidak menjawab apa-apa. MC pun berkata lagi kepadanya, “Sebut saja, mereka bisa membantumu” Beberapa menit Zhang Da masih diam, lalu dengan suara bergetar iapun menjawab, “Aku Mau Mama Kembali. Mama kembalilah ke rumah, aku bisa membantu Papa, aku bisa cari makan sendiri, Mama Kembalilah!” demikian Zhang Da bicara dengan suara yang keras dan penuh harap.
Saya bisa lihat banyak pemirsa menitikkan air mata karena terharu, saya pun tidak menyangka akan apa yang keluar dari bibirnya. Mengapa ia tidak minta kemudahan untuk pengobatan papanya, mengapa ia tidak minta deposito yang cukup untuk meringankan hidupnya dan sedikit bekal untuk masa depannya, mengapa ia tidak minta rumah kecil yang dekat dengan rumah sakit, mengapa ia tidak minta sebuah kartu kemudahan dari pemerintah agar ketika ia membutuhkan, melihat katabelece yang dipegangnya semua akan membantunya. Sungguh saya tidak mengerti, tapi yang saya tahu apa yang dimintanya, itulah yang paling utama bagi dirinya. Aku Mau Mama Kembali, sebuah ungkapan yang mungkin sudah dipendamnya sejak saat melihat mamanya pergi meninggalkan dia dan papanya.
Tidak semua orang bisa sekuat dan sehebat Zhang Da dalam mensiasati kesulitan hidup ini. Tapi setiap kita pastinya telah dikaruniai kemampuan dan kekuatan yg istimewa untuk menjalani ujian di dunia. Sehebat apapun ujian yg dihadapi pasti ada jalan keluarnya ditiap-tiap kesulitan ada kemudahan dan Tuhan tidak akan menimpakan kesulitan diluar kemampuan umat-Nya.
Jadi janganlah menyerah dengan keadaan, jika sekarang sedang kurang beruntung, sedang mengalami kekalahan bangkitlah! karena sesungguhnya kemenangan akan diberikan kepada siapa saja yg telah berusaha sekuat kemampuannya.
Hadiah sang Ayah
Pena Ilmu dan Dawah
seorang pemuda sebentar lagi akan diwisuda,sebentar lagi dia akan menjadi seorang sarjana, akhir dari jerih payahnya selama beberapa tahun di bangku pendidikan.
Beberapa bulan yang lalu dia melewati sebuah showroom, dan saat itu dia jatuh cinta kepada sebuah mobil sport, keluaran terbaru dari ford. Selama beberapa bulan dia selalu membayangkan, nanti pada saat wisuda ayahnya pasti akan membelikan mobil itu kepadanya. Dia yakin, karena dia anak satu-satunya dan ayahnya sangat sayang padanya, sehingga dia yakin banget nanti dia pasti akan mendapatkan mobil itu. Dia pun berangan-angan mengendarai mobil itu, bersenang-senang dengan teman-temannya,bahkan semua mimpinya itu dia ceritakan keteman-temannya.
Saatnya pun tiba, siang itu, setelah wisuda, dia melangkah pasti ke ayahnya. Sang ayah tersenyum, dan dengan berlinang air mata karena terharu dia mengungkapkan betapa dia bangga akan anaknya, dan betapa dia mencintai anaknya itu. Lalu dia pun mengeluarkan sebuah bingkisan. Bukan sebuah kunci ! Dengan hati yang hancur sang anak menerima bingkisan itu, dan dengan sangat kecewa dia membukanya.
Dan dibalik kertas kado itu ia menemukan sebuah kitab suci yang bersampulkan kulit asli, dikulit itu terukir indah namanya dengan tinta emas. Pemuda itu menjadi marah, dengan suara yang meninggi dia berteriak, "Yaahh... Ayah memang sangat mencintai saya, dengan semua uang ayah, ayah belikan kitab suci ini untukku? " lalu dia membanting kitab suci itu dan lari meninggalkan ayahnya. Ayahnya tidakbisa berkata apa-apa, hatinya hancur, dia berdiri mematung ditonton beribu pasang mata yang hadir saat itu.
Tahun demi tahun berlalu, sang anak telah menjadi seorang yang sukses, dengan bermodalkan otaknya yang cemerlang dia berhasil menjadi seorang yang terpandang. Dia mempunyai rumah yang besar dan mewah, dan dikelilingi istri yang cantik dan anak-anak yang cerdas. Sementara itu ayahnya semakin tua dan tinggal sendiri. Sejak hari wisuda itu, anaknya pergi meninggalkan dia dan tak pernah menghubungi dia. Dia berharap suatu saat dapat bertemu anaknya itu, hanya untuk meyakinkan dia betapa kasihnya pada anak itu. Sang anak pun kadang rindu dan ingin bertemu dengan sang ayah, tapi mengingat apa yang terjadi pada hari wisudanya, dia menjadi sakit hati dan sangat mendendam.
Sampai suatu hari datang sebuah telegram dari kantor kejaksaan yang memberitakan bahwa ayahnya telah meninggal, dan sebelum ayahnya meninggal, dia mewariskan semua hartanya kepada anak satu-satunya itu. Sang anak disuruh menghadap jaksa wilayah dan bersama-sama ke rumah ayahnya untuk mengurus semua harta peninggalannya.
Saat melangkah masuk ke rumah itu, mendadak hatinya menjadi sangat sedih, mengingat semua kenangan semasa dia tinggal di situ. Dia merasa sangat menyesal telah bersikap jelak terhadap ayahnya. Dengan bayangan-bayangan masa lalu yang menari-nari di matanya, dia menelusuri semua barang dirumah itu. Dan ketika dia membuka brankas ayahnya, dia menemukan kitab suci itu, masih terbungkus dengan kertas yang sama beberapa tahun yang lalu. Dengan airmata berlinang, dia lalu memungut kitab suci itu, dan mulai membuka halamannya.
Di halaman pertama kitab suci itu, dia membaca tulisan tangan ayahnya, "sebaik-baik manusia adalah mereka yang paling bermanfaat bagi orang lain. Dan Tuhan maha kaya dari segala apa yang ada di dunia ini"
Selesai dia membaca tulisan itu, sesuatu jatuh dari bagian belakang kitab suci itu. Dia memungutnya, Sebuah kunci mobil ! Di gantungan kunci mobil itu tercetak nama dealer, sama dengan dealer mobil sport yang dulu dia idamkan ! Dia membuka halaman terakhir alkitab itu, dan menemukan di situ terselip STNK dan surat-surat lainnya, namanya tercetak di situ. Dan sebuah kwitansi pembelian mobil, tanggalnya tepat sehari sebelum hari wisuda itu.
Dia berlari menuju garasi, dan di sana dia menemukan sebuah mobil yang berlapiskan debu selama bertahun-tahun, meskipun mobil itu sudah sangat kotor karena tidak disentuh bertahun-tahun, dia masih mengenal jelas mobil itu, mobil sport yang dia dambakan bertahun-tahun lalu.
Dengan buru-buru dia menghapus debu pada jendela mobil dan melongok ke dalam. Bagian dalam mobil itu masih baru, plastik membungkus jok mobil dan setirnya, di atas dashboardnya ada sebuah foto, foto ayahnya, sedang tersenyum bangga. Mendadak dia menjadi lemas, lalu terduduk di samping mobil itu, air matanya tidak terhentikan, mengalir terus mengiringi rasa menyesalnya yang tak mungkin diobati.
Hikmah : kita kadang tidak peduli terhadap pemberian Tuhan yang kelihatannya kecil, padahal ada sesuatu yang besar dibaliknya jika kita mau bersyukur.
seorang pemuda sebentar lagi akan diwisuda,sebentar lagi dia akan menjadi seorang sarjana, akhir dari jerih payahnya selama beberapa tahun di bangku pendidikan.
Beberapa bulan yang lalu dia melewati sebuah showroom, dan saat itu dia jatuh cinta kepada sebuah mobil sport, keluaran terbaru dari ford. Selama beberapa bulan dia selalu membayangkan, nanti pada saat wisuda ayahnya pasti akan membelikan mobil itu kepadanya. Dia yakin, karena dia anak satu-satunya dan ayahnya sangat sayang padanya, sehingga dia yakin banget nanti dia pasti akan mendapatkan mobil itu. Dia pun berangan-angan mengendarai mobil itu, bersenang-senang dengan teman-temannya,bahkan semua mimpinya itu dia ceritakan keteman-temannya.
Saatnya pun tiba, siang itu, setelah wisuda, dia melangkah pasti ke ayahnya. Sang ayah tersenyum, dan dengan berlinang air mata karena terharu dia mengungkapkan betapa dia bangga akan anaknya, dan betapa dia mencintai anaknya itu. Lalu dia pun mengeluarkan sebuah bingkisan. Bukan sebuah kunci ! Dengan hati yang hancur sang anak menerima bingkisan itu, dan dengan sangat kecewa dia membukanya.
Dan dibalik kertas kado itu ia menemukan sebuah kitab suci yang bersampulkan kulit asli, dikulit itu terukir indah namanya dengan tinta emas. Pemuda itu menjadi marah, dengan suara yang meninggi dia berteriak, "Yaahh... Ayah memang sangat mencintai saya, dengan semua uang ayah, ayah belikan kitab suci ini untukku? " lalu dia membanting kitab suci itu dan lari meninggalkan ayahnya. Ayahnya tidakbisa berkata apa-apa, hatinya hancur, dia berdiri mematung ditonton beribu pasang mata yang hadir saat itu.
Tahun demi tahun berlalu, sang anak telah menjadi seorang yang sukses, dengan bermodalkan otaknya yang cemerlang dia berhasil menjadi seorang yang terpandang. Dia mempunyai rumah yang besar dan mewah, dan dikelilingi istri yang cantik dan anak-anak yang cerdas. Sementara itu ayahnya semakin tua dan tinggal sendiri. Sejak hari wisuda itu, anaknya pergi meninggalkan dia dan tak pernah menghubungi dia. Dia berharap suatu saat dapat bertemu anaknya itu, hanya untuk meyakinkan dia betapa kasihnya pada anak itu. Sang anak pun kadang rindu dan ingin bertemu dengan sang ayah, tapi mengingat apa yang terjadi pada hari wisudanya, dia menjadi sakit hati dan sangat mendendam.
Sampai suatu hari datang sebuah telegram dari kantor kejaksaan yang memberitakan bahwa ayahnya telah meninggal, dan sebelum ayahnya meninggal, dia mewariskan semua hartanya kepada anak satu-satunya itu. Sang anak disuruh menghadap jaksa wilayah dan bersama-sama ke rumah ayahnya untuk mengurus semua harta peninggalannya.
Saat melangkah masuk ke rumah itu, mendadak hatinya menjadi sangat sedih, mengingat semua kenangan semasa dia tinggal di situ. Dia merasa sangat menyesal telah bersikap jelak terhadap ayahnya. Dengan bayangan-bayangan masa lalu yang menari-nari di matanya, dia menelusuri semua barang dirumah itu. Dan ketika dia membuka brankas ayahnya, dia menemukan kitab suci itu, masih terbungkus dengan kertas yang sama beberapa tahun yang lalu. Dengan airmata berlinang, dia lalu memungut kitab suci itu, dan mulai membuka halamannya.
Di halaman pertama kitab suci itu, dia membaca tulisan tangan ayahnya, "sebaik-baik manusia adalah mereka yang paling bermanfaat bagi orang lain. Dan Tuhan maha kaya dari segala apa yang ada di dunia ini"
Selesai dia membaca tulisan itu, sesuatu jatuh dari bagian belakang kitab suci itu. Dia memungutnya, Sebuah kunci mobil ! Di gantungan kunci mobil itu tercetak nama dealer, sama dengan dealer mobil sport yang dulu dia idamkan ! Dia membuka halaman terakhir alkitab itu, dan menemukan di situ terselip STNK dan surat-surat lainnya, namanya tercetak di situ. Dan sebuah kwitansi pembelian mobil, tanggalnya tepat sehari sebelum hari wisuda itu.
Dia berlari menuju garasi, dan di sana dia menemukan sebuah mobil yang berlapiskan debu selama bertahun-tahun, meskipun mobil itu sudah sangat kotor karena tidak disentuh bertahun-tahun, dia masih mengenal jelas mobil itu, mobil sport yang dia dambakan bertahun-tahun lalu.
Dengan buru-buru dia menghapus debu pada jendela mobil dan melongok ke dalam. Bagian dalam mobil itu masih baru, plastik membungkus jok mobil dan setirnya, di atas dashboardnya ada sebuah foto, foto ayahnya, sedang tersenyum bangga. Mendadak dia menjadi lemas, lalu terduduk di samping mobil itu, air matanya tidak terhentikan, mengalir terus mengiringi rasa menyesalnya yang tak mungkin diobati.
Hikmah : kita kadang tidak peduli terhadap pemberian Tuhan yang kelihatannya kecil, padahal ada sesuatu yang besar dibaliknya jika kita mau bersyukur.
Saat Iblis membentangkan sajadah
Pena Ilmu dan Dawah
(Cerita ini sudah begitu fenomenal di berbagai blog yang dapat anda temui dengan mudah. Kalau selama ini kita selaku umat manusia dituntut untuk lebih kreatif dalam bekerja dan berkarya maka begitu pula dengan Iblis, makhluk terlaknat ini juga mengembangkan daya kreatifnya untuk menggiring manusia ke dalam lembah dosa dan penyesalan.)
Berikut kisahnya..
Siang menjelang dzuhur. Salah satu Iblis ada di Masjid. Kebetulan hari itu Jum’at, saat berkumpulnya orang. Iblis sudah ada dalam Masjid. Ia tampak begitu khusyuk. Orang mulai berdatangan. Iblis menjelma menjadi ratusan bentuk & masuk dari segala penjuru, lewat jendela, pintu, ventilasi, atau masuk lewat lubang pembuangan air.
Pada setiap orang, Iblis juga masuk lewat telinga, ke dalam syaraf mata, ke dalam urat nadi, lalu menggerakkan denyut jantung setiap para jamaah yang hadir. Iblis juga menempel di setiap sajadah.
“Hai, Blis!”, panggil Kiai, ketika baru masuk ke Masjid itu. Iblis merasa terusik : “Kau kerjakan saja tugasmu, Kiai. Tidak perlu kau larang-larang saya. Ini hak saya untuk menganggu setiap orang dalam Masjid ini!”, jawab Iblis ketus.
“Ini rumah Tuhan, Blis! Tempat yang suci,Kalau kau mau ganggu, kau bisa diluar nanti!”, Kiai mencoba mengusir.
“Kiai, hari ini, adalah hari uji coba sistem baru”. Kiai tercenung. “Saya sedang menerapkan cara baru, untuk menjerat kaummu”.
“Dengan apa?”
“Dengan sajadah!”
“Apa yang bisa kau lakukan dengan sajadah, Blis?”
“Pertama, saya akan masuk ke setiap pemilik saham industri sajadah. Mereka akan saya jebak dengan mimpi untung besar. Sehingga, mereka akan tega memeras buruh untuk bekerja dengan upah di bawah UMR, demi keuntungan besar!”
“Ah, itu kan memang cara lama yang sering kau pakai. Tidak ada yang baru,Blis?”
“Bukan itu saja Kiai…”
“Lalu?”
“Saya juga akan masuk pada setiap desainer sajadah. Saya akan menumbuhkan gagasan, agar para desainer itu membuat sajadah yang lebar-lebar”
“Untuk apa?”
“Supaya, saya lebih berpeluang untuk menanamkan rasa egois di setiap kaum yang Kau pimpin, Kiai! Selain itu, Saya akan lebih leluasa, masuk dalam barisan sholat. Dengan sajadah yang lebar maka barisan shaf akan renggang. Dan saya ada dalam kerenganggan itu. Di situ Saya bisa ikut membentangkan sajadah”.
Dialog Iblis dan Kiai sesaat terputus. Dua orang datang, dan keduanya membentangkan sajadah. Keduanya berdampingan. Salah satunya, memiliki sajadah yang lebar. Sementara, satu lagi, sajadahnya lebih kecil. Orang yang punya sajadah lebar seenaknya saja membentangkan sajadahnya, tanpa melihat kanan-kirinya. Sementara, orang yang punya sajadah lebih kecil, tidak enak hati jika harus mendesak jamaah lain yang sudah lebih dulu datang. Tanpa berpikir panjang, pemilik sajadah kecil membentangkan saja sajadahnya, sehingga sebagian sajadah yang lebar tertutupi sepertiganya.
Keduanya masih melakukan sholat sunnah.
“Nah, lihat itu Kiai!”, Iblis memulai dialog lagi.
“Yang mana?”
“Ada dua orang yang sedang sholat sunnah itu. Mereka punya sajadah yang berbeda ukuran. Lihat sekarang, aku akan masuk diantara mereka”.
Iblis lenyap.
Ia sudah masuk ke dalam barisan shaf.
Kiai hanya memperhatikan kedua orang yang sedang melakukan sholat sunah. Kiai akan melihat kebenaran rencana yang dikatakan Iblis sebelumnya. Pemilik sajadah lebar, rukuk. Kemudian sujud. Tetapi, sembari bangun dari sujud, ia membuka sajadahya yang tertumpuk, lalu meletakkan sajadahnya di atas sajadah yang kecil. Hingga sajadah yang kecil kembali berada di bawahnya. Ia kemudian berdiri. Sementara, pemilik sajadah yang lebih kecil, melakukan hal serupa.
Ia juga membuka sajadahnya, karena sajadahnya ditumpuk oleh sajadah yang lebar. Itu berjalan sampai akhir sholat. Bahkan, pada saat sholat wajib juga, kejadian-kejadian itu beberapa kali terihat di beberapa masjid. Orang lebih memilih menjadi di atas, ketimbang menerima di bawah. Di atas sajadah, orang sudah berebut kekuasaan atas lainnya. Siapa yang memiliki sajadah lebar, maka, ia akan meletakkan sajadahnya diatas sajadah yang kecil. Sajadah sudah dijadikan Iblis sebagai pembedaan kelas.
Pemilik sajadah lebar, diindentikan sebagai para pemilik kekayaan, yang setiap saat harus lebih di atas dari pada yang lain. Dan pemilik sajadah kecil, adalah kelas bawah yang setiap saat akan selalu menjadi sub-ordinat dari orang yang berkuasa.
Di atas sajadah, Iblis telah mengajari orang supaya selalu menguasai orang lain.
“Astaghfirullahal adziiiim “, ujar sang Kiai pelan.
(Cerita ini sudah begitu fenomenal di berbagai blog yang dapat anda temui dengan mudah. Kalau selama ini kita selaku umat manusia dituntut untuk lebih kreatif dalam bekerja dan berkarya maka begitu pula dengan Iblis, makhluk terlaknat ini juga mengembangkan daya kreatifnya untuk menggiring manusia ke dalam lembah dosa dan penyesalan.)
Berikut kisahnya..
Siang menjelang dzuhur. Salah satu Iblis ada di Masjid. Kebetulan hari itu Jum’at, saat berkumpulnya orang. Iblis sudah ada dalam Masjid. Ia tampak begitu khusyuk. Orang mulai berdatangan. Iblis menjelma menjadi ratusan bentuk & masuk dari segala penjuru, lewat jendela, pintu, ventilasi, atau masuk lewat lubang pembuangan air.
Pada setiap orang, Iblis juga masuk lewat telinga, ke dalam syaraf mata, ke dalam urat nadi, lalu menggerakkan denyut jantung setiap para jamaah yang hadir. Iblis juga menempel di setiap sajadah.
“Hai, Blis!”, panggil Kiai, ketika baru masuk ke Masjid itu. Iblis merasa terusik : “Kau kerjakan saja tugasmu, Kiai. Tidak perlu kau larang-larang saya. Ini hak saya untuk menganggu setiap orang dalam Masjid ini!”, jawab Iblis ketus.
“Ini rumah Tuhan, Blis! Tempat yang suci,Kalau kau mau ganggu, kau bisa diluar nanti!”, Kiai mencoba mengusir.
“Kiai, hari ini, adalah hari uji coba sistem baru”. Kiai tercenung. “Saya sedang menerapkan cara baru, untuk menjerat kaummu”.
“Dengan apa?”
“Dengan sajadah!”
“Apa yang bisa kau lakukan dengan sajadah, Blis?”
“Pertama, saya akan masuk ke setiap pemilik saham industri sajadah. Mereka akan saya jebak dengan mimpi untung besar. Sehingga, mereka akan tega memeras buruh untuk bekerja dengan upah di bawah UMR, demi keuntungan besar!”
“Ah, itu kan memang cara lama yang sering kau pakai. Tidak ada yang baru,Blis?”
“Bukan itu saja Kiai…”
“Lalu?”
“Saya juga akan masuk pada setiap desainer sajadah. Saya akan menumbuhkan gagasan, agar para desainer itu membuat sajadah yang lebar-lebar”
“Untuk apa?”
“Supaya, saya lebih berpeluang untuk menanamkan rasa egois di setiap kaum yang Kau pimpin, Kiai! Selain itu, Saya akan lebih leluasa, masuk dalam barisan sholat. Dengan sajadah yang lebar maka barisan shaf akan renggang. Dan saya ada dalam kerenganggan itu. Di situ Saya bisa ikut membentangkan sajadah”.
Dialog Iblis dan Kiai sesaat terputus. Dua orang datang, dan keduanya membentangkan sajadah. Keduanya berdampingan. Salah satunya, memiliki sajadah yang lebar. Sementara, satu lagi, sajadahnya lebih kecil. Orang yang punya sajadah lebar seenaknya saja membentangkan sajadahnya, tanpa melihat kanan-kirinya. Sementara, orang yang punya sajadah lebih kecil, tidak enak hati jika harus mendesak jamaah lain yang sudah lebih dulu datang. Tanpa berpikir panjang, pemilik sajadah kecil membentangkan saja sajadahnya, sehingga sebagian sajadah yang lebar tertutupi sepertiganya.
Keduanya masih melakukan sholat sunnah.
“Nah, lihat itu Kiai!”, Iblis memulai dialog lagi.
“Yang mana?”
“Ada dua orang yang sedang sholat sunnah itu. Mereka punya sajadah yang berbeda ukuran. Lihat sekarang, aku akan masuk diantara mereka”.
Iblis lenyap.
Ia sudah masuk ke dalam barisan shaf.
Kiai hanya memperhatikan kedua orang yang sedang melakukan sholat sunah. Kiai akan melihat kebenaran rencana yang dikatakan Iblis sebelumnya. Pemilik sajadah lebar, rukuk. Kemudian sujud. Tetapi, sembari bangun dari sujud, ia membuka sajadahya yang tertumpuk, lalu meletakkan sajadahnya di atas sajadah yang kecil. Hingga sajadah yang kecil kembali berada di bawahnya. Ia kemudian berdiri. Sementara, pemilik sajadah yang lebih kecil, melakukan hal serupa.
Ia juga membuka sajadahnya, karena sajadahnya ditumpuk oleh sajadah yang lebar. Itu berjalan sampai akhir sholat. Bahkan, pada saat sholat wajib juga, kejadian-kejadian itu beberapa kali terihat di beberapa masjid. Orang lebih memilih menjadi di atas, ketimbang menerima di bawah. Di atas sajadah, orang sudah berebut kekuasaan atas lainnya. Siapa yang memiliki sajadah lebar, maka, ia akan meletakkan sajadahnya diatas sajadah yang kecil. Sajadah sudah dijadikan Iblis sebagai pembedaan kelas.
Pemilik sajadah lebar, diindentikan sebagai para pemilik kekayaan, yang setiap saat harus lebih di atas dari pada yang lain. Dan pemilik sajadah kecil, adalah kelas bawah yang setiap saat akan selalu menjadi sub-ordinat dari orang yang berkuasa.
Di atas sajadah, Iblis telah mengajari orang supaya selalu menguasai orang lain.
“Astaghfirullahal adziiiim “, ujar sang Kiai pelan.
Langganan:
Postingan (Atom)